IDUL ADHA DAN PENDIDIKAN
Tak terasa, bulan Dzulhijjah sudah di depan mata. Bagi masyarakat Muslim,
bulan ini adalah salah satu bulan yang istmewa. Betapa tidak, salah satu Rukun
Islam (haji) hanya bisa dilaksanakan pada bulan ini. Bukan hanya itu, bagi rakyat
kecil, mungkin hanya pada bulan ini mereka bisa merasakan liatnya daging tanpa
membeli karena banyaknya hewan Qurban.
Bagi masyarakat umum, makna Berqurban mungkin hanya sebatas saling
berbagi daging hewan qurban. Tapi jika mau ditelusuri dan ditelisik lebih jauh
banyak sekali makna yang terkandung dari Ritual Penyembelihan Qurban.
Setelah mengarungi
bahtera rumah tangga sekian lama disertai harapan dan keyakinan pada Allah SWT,
Nabi Ibrahim AS akhirnya dikaruniai 2 orang putra yang menyenangkan dan
membuatnya bahagia. Tapi, ternyata masih
ada jalan panjang yang harus dilaluinya untuk mencapai kebahagiaan hakiki.
Allah SWT, melalui mimpi yang benar, memerintahkannya untuk menyembelih
anaknya.
Jangankan manusia
apalagi nabi, hewan pun akan berpikir dua kali untuk membunuh anaknya. Pun
begitu Nabi Ibrahim AS, setelah mimpi yang pertama, dia ragu dengan mimpinya
mengingat perintahnya berupa hal yang diluar nalar. Akhirnya, setelah 3 kali
bermimpi hal yang sama, Ibrahim yakin ini adalah perintah dari Tuhannya dan
meyakini ada hal yang salah dalam dirinya hingga Allah memerintahkannya untuk
melakukan hal begitu berat.
Sebagai orang “Pendidikan”, makna terkait pendidikan dari Idul Adha
sangatlah vital untuk diketahui dan ditancapkan ke dalam hati. Ada beberapa
makna yang penting dalam hal ini, setidaknya :
1.
Cara mendidik yang terbaik
untuk anak, bukan yang terbaik menurut mereka
Yah, anak adalah
titipan Allah, tidak boleh mencintai mereka terlalu berlebihan yang berakibat
pada perlakuan yang berlebih pada anak.
Berkaca Nabi Ibrahim yang dihadapkan pada dua pilihan yang berat, antara anak yang menyenangan dan perintah Allah yang harus dijalankan, makna dari idul adha adalah betapapun kita cinta pada anak tapi itu tidak boleh membuat kita melakukan segala hal yang sebenarnya salah tapi kita anggap sebagai suatu yang benar karena beralasan sayang dan cinta kepada anak.
Berkaca Nabi Ibrahim yang dihadapkan pada dua pilihan yang berat, antara anak yang menyenangan dan perintah Allah yang harus dijalankan, makna dari idul adha adalah betapapun kita cinta pada anak tapi itu tidak boleh membuat kita melakukan segala hal yang sebenarnya salah tapi kita anggap sebagai suatu yang benar karena beralasan sayang dan cinta kepada anak.
Banyak hal yang perlu
kita pikirkan kembali dalam mengurus dan mendidik anak dalam hal ini. Diantaranya
:
a.
Tidak memberikan waktu
untuk belajar mandiri
Seringkali karena
alasan sayang pada anak, kita malah membelenggunya dalam kurungan kemanjaan
yang membuatnya tidak belajar mandiri. Kita sibuk meladeninya mengurus
pelajaran untuk esok hari meski anaknya bisa mengerjakan sendiri, sibuk
membantu mengerjakan PR yang sebenarnya dia mampu meski seharusnya kita hanya
harus membimbing dan menemaninya tanpa turut campur yang terkesan kita yang
mengerjakannya, kita sibuk menyiapkan makanan anak dari mengambilkan piring,
mengambil nasi dan kadang malah menyuapinya meski sebenarnya itu harus
dilakukannya sendiri.
b.
Pengelolaan jajan harian
dan pembelian mainan
Meski sepele,
pengelolaan pemberian uang jajan dan pembelian barang sebenarnya akan berakibat
buruk pada anak jika tidak diatur sedemikian rupa. Budaya konsumtif semisal,
lahir dari kesalahan dalam mengelola uang jajan anak.
Beragamnya kebutuhan di
jaman sekarang memang ikut andil dalam meruwetkan kerja orang tua dalam
mendidik anak. Mulai dari kebutuhan primer, sekunder dan tersier yang terus
berkembang dan dibantu media komunikasi khususnya TV membuat orang tua sering
kehilangan arah dalam mengelola keuangan.
Meski uang ada, tapi
bukan berarti kita boleh dengan mudah untuk memberikannyapada anak. Kalau hanya
menuruti keinginan anak, maka bukan cuma masalah keuangan yang timbul tapi
maslah mental konsumtif yang buruk yang akan menjadi bumerang bagi anak dalam
perkembangan selanjutnya. Kita harus mengajarkan pada anak pentingnya
membedakan kebutuhan dan keinginan. Jika anak hanya membeli mi rebus karena
belum sarapan semisal, itu masih dalam kategori kebutuhan, tapi kalau anak
sudah minta beli mi rebus, es coca cola dan mainan yang tidak berguna itu sudah
berpindah ke kategori Keinginan yang harus dihilangkan dalam diri anak.
2.
Bersabar dalam mendidik
anak
Sebagaimana Ibrahim AS yang bersabar dengan perintah Allah SWT untuk
menyembelih anaknya, kita pun dituntut untuk bersabar dalam mendidik anak. Bukan hal yang
mudah memang, tapi setidaknya kita harus belajar dan mempraktekkan kesabaran
dalam membesarkan anak kita agar mereka kelak menjadi generasi terbaik.
Ada beberapa hal yang harus ditekankan untuk menguatkan sifat sabar dalam
mendidik anak. Di antaranya adalah menegaskan kembali pada diri kita sendiri
bahwa mendidik anak adalah kewajiban dan ibadah. Jika hal ini sudah ada pada
diri kita, langkah kita dalam mendidik mengasuh dan mendidik mereka akan terasa
ringan yang tentunya akan lebih bermakna dan memberikan hasil yang lebih
dibanding hanya menjalaninya tanpa keyakinan kewajiban dan ibadah.
Hal lain yang penting adalah keyakinan akan adanya hasil dari semua jerih
upaya kita. Seringkali orang tua berhenti bahkan sama sekali tidak bersabar
dalam mendidik anak hanya disebabkan pesimis pada semua upaya yang mereka
kerjakan. Mereka berpikir jelek dulu sebelum benar-benar berusaha melakukan
banyak hal untuk kebaikan anaknya.
Akhirnya, dengan
semua alasan di atas tidak layak jika Momentum Idul Adha hanya dilewati dengan
makan bersama tanpa merenungkan dan mengambil makna yang lebih baik untuk
kehidupan kita semua. Semoga.
Get notifications from this blog