MENGUKUR IMAN KITA
Suatu hari, ketika
rasulullah sedang duduk-duduk dengan para sahabatnya, datang seorang yang
mengenakan pakaian serba putih. Dia langsung menanyakan tentang definisi islam,
iman dan ihsan. Rasulullah, menanggapi pertanyaan tentang iman menjawab “Iman
adalah percaya dan yakin kepada Allah, malaikatnya, kitab-kitab(yang diturunkan
pada Nabi)nya, nabi-nabinya, hari kiamat dan Qodlo Qodar.
Iman kepada Kitab Allah
berarti kita percaya dan yakin Allah ada dan mengejawantahkannya dengan
melaksanakan semua perintahnya dan menjauhi larangannya. Pun begitu, iman
kepada Allah juga berarti kita percaya Surga dan Neraka itu ada dan kita akan
menemuinya nanti.
Ada satu hal yang membuat
kita lemah dalam urusan iman, yaitu kita jarang sekali mengukur dan menelisik
lebih jauh sampai di mana tingkat “keimanan” kita. Padahal jika kita tidak
sempat mengukur iman kita, berarti kita sebenarnya sudah jauh dari iman itu
sendiri karena kita tidak berusaha mengetahui sejauh mana tingkat keimanan kita
sendiri.
Mengukur keimanan
sebenarnya bukan urusan mudah, tapi ada satu hal yang bisa kita jadikan acuan
kita dalam menentukan sejauh mana keimanan kita. Sebuah anekdot lucu bias kita
jadikan acuan dalam hal ini. Alkisah, Guru sebuah Taman kanak-kanak sedang
bingung memikirkan cara menumbuhkan semangat Solat berjamaah anak-anak didiknya.
Sudah banyak ayat Al qur’an dan Hadits yang dia sampaikan kepada anak didiknya
agar mereka mau shalat berjamaah, sudah banyak dia membacakan janji Allah
tentang banyaknya pahala yang akan diberikannya pada yang mau Shalat berjamaah,
tapi tetap saja itu tidak membuat anak didiknya melaksanakannya. Kemudian dia
menjanjikan uang 5 ribu pada siapa yang mau berjamaah yang ternyata itu membuat
hampir semua anak didiknya berangkat Shalat berjamaah.
Sebuah anekdot memang,
tapi itu bisa kita jadikan tolok ukur keimanan kita. Seringkali kita lebih
memilih uang 5 ribu dari pada ribuan
pahala yang Allah janjikan pada kita. Hampir pasti kita lebih memilih meneruskan pekerjaan daripada menghentikan pekerjaan sebentar dan melaksanakan Shalat terlebih dahulu. Padahal, kita pasti akan lebih memilih menghentikan pekerjaan sebentar dan Shalat jika bos kita menjanjikan uang 5 ribu bagi yang berjamaah.
pahala yang Allah janjikan pada kita. Hampir pasti kita lebih memilih meneruskan pekerjaan daripada menghentikan pekerjaan sebentar dan melaksanakan Shalat terlebih dahulu. Padahal, kita pasti akan lebih memilih menghentikan pekerjaan sebentar dan Shalat jika bos kita menjanjikan uang 5 ribu bagi yang berjamaah.
Uang 5 ribu dan ribuan
pahala sama-sama sebuah janji. Satu dari orang dan satunya lagi dari Tuhan
kita. Tapi entah kenapa, seringkali kita lebih memilih uang 5 ribu daripada
ribuan pahala. Kita lebih memilih janji orang daripada janji tuhan. Uang 5 ribu
yang tidak kekal lebih kita dahulukan daripada ribuan pahala yang abadi.
Entah itu karena uang
lebih nyata atau alasan apa, yang jelas kita sudah mengingkari pernyataan iman
kita kepada Allah. Kita mengaku beriman tapi masih belum meyakini janji pahala
darinya. Pernyataan kita mengarah ke arat barat, tapi pelaksanannya kita
mengarah ke arah sebaliknya. Pengakuan keimanan yang kita buat tidak berguna saat tindakan kita menyatakan
sebaliknya.
Pembaca yang budiman,
beriman kepada Allah memang sangatlah luas dan tidak cukup jika hanya
memperhatikan sedikit hal. Tapi, anekdot ini penulis yakin bias mengkur
keimanan kita. Apakah kita hanya berkata “Saya beriman “ dan tidak dilanjutkan
dengan mengejawantahkannya? Apakah kita lebih memilih melanjutkan pekerjaan
kita yang cuma menghasilkan sedikit uang dan mengacuhkan janji Allah yang
begitu kekal bagi yang mau meninggalkan pekerjaannya sebentar dan melaksanakan
Shalat terlebih dahulu.
Get notifications from this blog