√ MENGUKUR IMAN KITA - KANG INU



Minggu, 18 November 2012

MENGUKUR IMAN KITA

Suatu hari, ketika rasulullah sedang duduk-duduk dengan para sahabatnya, datang seorang yang mengenakan pakaian serba putih. Dia langsung menanyakan tentang definisi islam, iman dan ihsan. Rasulullah, menanggapi pertanyaan tentang iman menjawab “Iman adalah percaya dan yakin kepada Allah, malaikatnya, kitab-kitab(yang diturunkan pada Nabi)nya, nabi-nabinya, hari kiamat dan Qodlo Qodar.
Iman kepada Kitab Allah berarti kita percaya dan yakin Allah ada dan mengejawantahkannya dengan melaksanakan semua perintahnya dan menjauhi larangannya. Pun begitu, iman kepada Allah juga berarti kita percaya Surga dan Neraka itu ada dan kita akan menemuinya nanti.
Ada satu hal yang membuat kita lemah dalam urusan iman, yaitu kita jarang sekali mengukur dan menelisik lebih jauh sampai di mana tingkat “keimanan” kita. Padahal jika kita tidak sempat mengukur iman kita, berarti kita sebenarnya sudah jauh dari iman itu sendiri karena kita tidak berusaha mengetahui sejauh mana tingkat keimanan kita sendiri.
Mengukur keimanan sebenarnya bukan urusan mudah, tapi ada satu hal yang bisa kita jadikan acuan kita dalam menentukan sejauh mana keimanan kita. Sebuah anekdot lucu bias kita jadikan acuan dalam hal ini. Alkisah, Guru sebuah Taman kanak-kanak sedang bingung memikirkan cara menumbuhkan semangat Solat berjamaah anak-anak didiknya. Sudah banyak ayat Al qur’an dan Hadits yang dia sampaikan kepada anak didiknya agar mereka mau shalat berjamaah, sudah banyak dia membacakan janji Allah tentang banyaknya pahala yang akan diberikannya pada yang mau Shalat berjamaah, tapi tetap saja itu tidak membuat anak didiknya melaksanakannya. Kemudian dia menjanjikan uang 5 ribu pada siapa yang mau berjamaah yang ternyata itu membuat hampir semua anak didiknya berangkat Shalat berjamaah.
Sebuah anekdot memang, tapi itu bisa kita jadikan tolok ukur keimanan kita. Seringkali kita lebih memilih uang 5 ribu dari pada  ribuan
pahala yang Allah janjikan pada kita. Hampir pasti kita lebih memilih meneruskan pekerjaan daripada menghentikan pekerjaan sebentar dan melaksanakan Shalat terlebih dahulu. Padahal, kita pasti akan lebih memilih menghentikan pekerjaan sebentar dan Shalat jika bos kita menjanjikan uang 5 ribu bagi yang berjamaah.
Uang 5 ribu dan ribuan pahala sama-sama sebuah janji. Satu dari orang dan satunya lagi dari Tuhan kita. Tapi entah kenapa, seringkali kita lebih memilih uang 5 ribu daripada ribuan pahala. Kita lebih memilih janji orang daripada janji tuhan. Uang 5 ribu yang tidak kekal lebih kita dahulukan daripada ribuan pahala yang abadi.
Entah itu karena uang lebih nyata atau alasan apa, yang jelas kita sudah mengingkari pernyataan iman kita kepada Allah. Kita mengaku beriman tapi masih belum meyakini janji pahala darinya. Pernyataan kita mengarah ke arat barat, tapi pelaksanannya kita mengarah ke arah sebaliknya. Pengakuan keimanan yang kita  buat tidak berguna saat tindakan kita menyatakan sebaliknya.
Pembaca yang budiman, beriman kepada Allah memang sangatlah luas dan tidak cukup jika hanya memperhatikan  sedikit hal. Tapi,  anekdot ini penulis yakin bias mengkur keimanan kita. Apakah kita hanya berkata “Saya beriman “ dan tidak dilanjutkan dengan mengejawantahkannya? Apakah kita lebih memilih melanjutkan pekerjaan kita yang cuma menghasilkan sedikit uang dan mengacuhkan janji Allah yang begitu kekal bagi yang mau meninggalkan pekerjaannya sebentar dan melaksanakan Shalat terlebih dahulu.

Get notifications from this blog