√ KANGKUNG LIAR DI HARI KURBAN - KANG INU



Jumat, 26 September 2014

KANGKUNG LIAR DI HARI KURBAN

Dengan langkah riang aku berjalan ke masjid An Nuur di Dukuhku, sebuah dukuh kecil di kabupaten Sukoharjo yang terletak di wilayah selatan propinsi Jawa tengah. Tanggal 10 Dzulhijjah ini memang selalu di tunggu ribuan masyarakat muslim di dunia. Betapapun, diakui ataupun tidak, hari ini semua umat muslim khususnya yang di bawah garis kemiskinan selalu menunggu saat indah merasakan liatnya daging kambing atau sapi yang selama ini jarang menikmati atau malah hanya ada dalam mimpi-mimpi indah mereka.
Sampai di masjid, ternyata sudah banyak orang berkumpul meski belum memulai penyembelihan kurban, hanya duduk-duduk santai membuat kelompok-kelompok dengan obrolan berbeda-beda. Ku selonjorkan kakiku ikut duduk di kelompok sebayaku yang sedang mengobrolkan jatah pembagian paket kurban yang harus kami bagikan ke masyarakat. Kelompok sebayaku memang mendapat jatah untuk membagikan semua paket kurban yang ada.
“Nunggu apa ini? Kok belum mulai?” tanyaku pada mereka.
“Nunggu pak Hanif, katanya masih menyembelih hewan kurban di dukuh Tawang” jawab handika, salah satu dari mereka.
“Sudah siap toh daftar KK yang akan dapat daging kurbannya, dik?” tanya Pak Qosim yang tiba-tiba menghampiri kami dan langsung bertanya pada Handika.
“Sudah pak, setelah rapat kemarin saya langsung menyelesaikan daftar penerima itu” jawab Handika sambil menjelaskan.
“Berarti yang daftar penerima daging kurbannya hanya KK di Sidowayah ini seperti hasil rapatnya kan?” tanya pak Qosim meminta kejelasan pada Handika.
“Ya pak, saya tidak berani menambahi atau mengurangi” jawab Handika. “meski sebenarnya saya dan teman-teman lain  lebih condong ke pendapat bapak yang ingin membagi dagingnya pada KK yang miskin di dukuh lain di samping di Sidowayah, apalagi dukuh-dukuh yang tidak ada pelaksanaan hewan kurban karena tidak ada yang mampu membeli hewan kurban” lanjutnya.
Yah,  dua hari yang lalu sudah ada rapat pelaksanaan penyembelihan hewan kurban mulai dari pembentukan panitia, pembagian tugas dan daftar penerima daging kurban yang kemarin memutuskan pembagian daging kurban hanya dikonsentrasikan di dukuh kami dengan alasan pembagian kurban tidak mengharuskan untuk dibagikan pada yang miskin. Pak Qosim yang   mengusulkan agar pembagian daging kurban juga disebar ke dukuh lain asal mereka lebih membutuhkan, tidak bisa berbuat banyak melihat kenyataan para peserta rapat lebih cenderung ke pendapat yang mengkonsentrasikan pembagian hanya di wilayah dukuh kami.
“Tidak apa-apa, jalankan saja putusan rapat. Terbaik atau tidak, itu kan keputusan bersama. Tidak baik kalau tidak melaksanakannya keputusan yang sudah dimusyawarahkan bersama” pak Qosim mencoba mencairkan suasana hati Handika.
“Tapi kan pak, harusnya rapat itu kan mencari pendapat yang terbaik, bukan mencari pendapat yang banyak disetujui oleh peserta rapat,,” andika melanjutkan pembicaraan seakan belum menerima alasan pak Qosim.
“Yah sudah, mau bagaimana lagi kalau sudah disepakati dan diputuskan. Kita harus lapang dada dan menjunjung tinggi keputusan rapat...,” sekali lagi pak Qosim ingin menenangkan Handika.
“Ayo bangun semua, itu pak Hanif sudah datang. Kita selesaikan, baru santai-santai, OK?” ajak pak Qosim sambil menarik tangan Handika dan tanganku mengajak kami semua untuk bangun. Pembicaraan itu pun terhenti dengan sendirinya karena pekerjaan segera dimulai.
 Akhirnya semua pekerjaan mulai dari penyembelihan, pengulitan sampai memotong-motong daging kurban pun berjalan tanpa hambatan, tinggal membagikannya. Sudah menjadi tradisi di dukuh kami semua urusan kurban harus dikerjakan bersama-sama mulai dari pemuda-pemudi, bapak-bapak dan ibu-ibu.
Rapat kemarin yang dihadiri Takmir masjid dan Ketua RT-RW di dukuh Sidowayah memang juga menegaskan dan menekankan kembali adanya kewajiban gotong royong  dalam mengurus hewan kurban dengan membagi-bagi tugas dan tanggung jawab agar pelaksanaan berjalan lancar.
“Muhtar, kamu dan teman-teman semua dipimpin Handika langsung membagikan kurban saja ya! Sambil nunggu ibu-ibu memasak daging untuk makan bersama nanti” pak Qosim menyuruh saya dan teman-teman untuk segera berangkat.
“Ya pak, pokoknya beres. Ini teman-teman juga sudah siap. Kami juga sudah membagi-bagi wilayah pembagian agar lebih mudah pak,,” jawabku sambil bergegas mengambil jatah yang harus kami bagikan masing-masing.
Aku sendiri mendapat jatah membagikan di RT yang paling ujung selatan dukuh kami. Aku memilih jalan kaki agar bisa mengambil jalan setapak, meski melewati dukuh Candi yang terletak di sebelah timur dukuh kami.
Di tengah jalan jalan ketika melewati dukuh Candi, ada anak kecil yang sedang turun ke Sungai. Ku perhatikan sekilas gerak-geriknya  yang ternyata ku lihat dia memetik kangkung yang tumbuh liar di sungai itu.
“Buat apa dik?” seruku bertanya kepadanya.
“Ya untuk makan mas, di rumah tidak ada lauk. Ayah sedang sakit, jadi tidak bisa kerja untuk kebutuhan makan kami sehari-hari” Jawabnya yang membuatku tercekat.
“Tidak ada yang menyembelih hewan kurban toh di dukuh sini?”, tanyaku.
“Tidak ada mas, tadi saya tanya ke teman-teman juga katanya tidak ada. Padahal kalau ada, mungkin kami bisa makan enak hari ini. Entah kenapa, dari dukuh lain juga tidak ada yang mengirim!”, jawabnya panjang menjelaskan dan seakan menyesalkan keadaan.
Aku memandangi 10 bungkus paket kurban yang ada di tanganku. Ingin rasanya salah satunya aku berikan padanya, aku bingung. Tapi, ucapan pak Qosim tadi membuatku mengurungkan niatku memberikan bungkusan itu padanya. “Ini amanah yang harus disampaikan. Meski bukan yang terbaik, inilah keputusannya” batinku mencoba menghibur hatiku.
Kupercepat jalanku ingin cepat-cepat menyelesaikan tugasku ini. Terngiang terus perkataan anak tadi yang membuat hatiku bimbang dan bingung. Selesai menyerahkan semua bungkusan pada KK yang ada di daftar, aku langsung kembali ke masjid.
“Mukhtar, makan dulu sana. Itu teman-temanmu sudah ada yang duluan makan. Ambil satu porsi ya, itu jatahmu” ucap pak Qosim menyambut kedatanganku.
Pandanganku tertuju pada piring yang berjejer di meja, tampak porsi yang terlalu besar untuk ukuranku. Porsi yang sama setiap ada pelaksanaan Kurban yang menurut hematku, porsi itu malah cukup untuk makan satu keluarga.
“Saya bungkus saja ya pak, saya tadi sudah sarapan” jawabku berkilah.
Tanpa menunggu jawaban, langsung saja ku bungkus sepiring porsi dagingku dengan plastik sisa pembagian daging kurban. Tidak ku hiraukan teman-temanku yang terlihat sedang asyik menikmati sepiring penuh daging dengan sedikit nasi di depan mereka. Pikiranku hanya tertuju pada anak tadi. Teringat ucapannya yang terus mengiang di telingaku. Aku ingin Idul adhaku penuh makna. Aku ingin ada daging untuknya, paling tidak di hari raya ini, bukan kangkung yang sudah tiap hari dia makan.
(Diterbitkan di Solopos Tanggal 26 Sept 2014 kolom Hikayat di Khazanah Keluarga)

Get notifications from this blog