KANGKUNG LIAR DI HARI KURBAN
Dengan langkah riang aku berjalan ke masjid An Nuur di Dukuhku, sebuah dukuh kecil di kabupaten Sukoharjo yang terletak di wilayah selatan propinsi Jawa tengah. Tanggal 10 Dzulhijjah ini memang selalu di tunggu ribuan masyarakat muslim di dunia. Betapapun, diakui ataupun tidak, hari ini semua umat muslim khususnya yang di bawah garis kemiskinan selalu menunggu saat indah merasakan liatnya daging kambing atau sapi yang selama ini jarang menikmati atau malah hanya ada dalam mimpi-mimpi indah mereka.
Sampai di masjid, ternyata sudah banyak orang
berkumpul meski belum memulai penyembelihan kurban, hanya duduk-duduk santai
membuat kelompok-kelompok dengan obrolan berbeda-beda. Ku selonjorkan kakiku
ikut duduk di kelompok sebayaku yang sedang mengobrolkan jatah pembagian paket kurban
yang harus kami bagikan ke masyarakat. Kelompok sebayaku memang mendapat jatah
untuk membagikan semua paket kurban yang ada.
“Nunggu apa ini? Kok belum mulai?” tanyaku pada
mereka.
“Nunggu pak Hanif, katanya masih menyembelih hewan
kurban di dukuh Tawang” jawab handika, salah satu dari mereka.
“Sudah siap toh daftar KK yang akan dapat daging
kurbannya, dik?” tanya Pak Qosim yang tiba-tiba menghampiri kami dan langsung
bertanya pada Handika.
“Sudah pak, setelah rapat kemarin saya langsung
menyelesaikan daftar penerima itu” jawab Handika sambil menjelaskan.
“Berarti yang daftar penerima daging kurbannya hanya
KK di Sidowayah ini seperti hasil rapatnya kan?” tanya pak Qosim meminta
kejelasan pada Handika.
“Ya pak, saya tidak berani menambahi atau
mengurangi” jawab Handika. “meski sebenarnya saya dan teman-teman lain lebih condong ke pendapat bapak yang ingin
membagi dagingnya pada KK yang miskin di dukuh lain di samping di Sidowayah,
apalagi dukuh-dukuh yang tidak ada pelaksanaan hewan kurban karena tidak ada
yang mampu membeli hewan kurban” lanjutnya.
Yah, dua hari
yang lalu sudah ada rapat pelaksanaan penyembelihan hewan kurban mulai dari
pembentukan panitia, pembagian tugas dan daftar penerima daging kurban yang
kemarin memutuskan pembagian daging kurban hanya dikonsentrasikan di dukuh kami
dengan alasan pembagian kurban tidak mengharuskan untuk dibagikan pada yang
miskin. Pak Qosim yang mengusulkan agar pembagian daging kurban juga
disebar ke dukuh lain asal mereka lebih membutuhkan, tidak bisa berbuat banyak
melihat kenyataan para peserta rapat lebih cenderung ke pendapat yang
mengkonsentrasikan pembagian hanya di wilayah dukuh kami.
“Tidak apa-apa, jalankan saja putusan rapat. Terbaik
atau tidak, itu kan keputusan bersama. Tidak baik kalau tidak melaksanakannya
keputusan yang sudah dimusyawarahkan bersama” pak Qosim mencoba mencairkan
suasana hati Handika.
“Tapi kan pak, harusnya rapat itu kan mencari
pendapat yang terbaik, bukan mencari pendapat yang banyak disetujui oleh
peserta rapat,,” andika melanjutkan pembicaraan seakan belum menerima alasan
pak Qosim.
“Yah sudah, mau bagaimana lagi kalau sudah
disepakati dan diputuskan. Kita harus lapang dada dan menjunjung tinggi
keputusan rapat...,” sekali lagi pak Qosim ingin menenangkan Handika.
“Ayo bangun semua, itu pak Hanif sudah datang. Kita
selesaikan, baru santai-santai, OK?” ajak pak Qosim sambil menarik tangan
Handika dan tanganku mengajak kami semua untuk bangun. Pembicaraan itu pun
terhenti dengan sendirinya karena pekerjaan segera dimulai.
Akhirnya
semua pekerjaan mulai dari penyembelihan, pengulitan sampai memotong-motong
daging kurban pun berjalan tanpa hambatan, tinggal membagikannya. Sudah menjadi
tradisi di dukuh kami semua urusan kurban harus dikerjakan bersama-sama mulai dari
pemuda-pemudi, bapak-bapak dan ibu-ibu.
Rapat kemarin yang dihadiri Takmir masjid dan Ketua
RT-RW di dukuh Sidowayah memang juga menegaskan dan menekankan kembali adanya
kewajiban gotong royong dalam mengurus
hewan kurban dengan membagi-bagi tugas dan tanggung jawab agar pelaksanaan
berjalan lancar.
“Muhtar, kamu dan teman-teman semua dipimpin Handika
langsung membagikan kurban saja ya! Sambil nunggu ibu-ibu memasak daging untuk
makan bersama nanti” pak Qosim menyuruh saya dan teman-teman untuk segera
berangkat.
“Ya pak, pokoknya beres. Ini teman-teman juga sudah
siap. Kami juga sudah membagi-bagi wilayah pembagian agar lebih mudah pak,,”
jawabku sambil bergegas mengambil jatah yang harus kami bagikan masing-masing.
Aku sendiri mendapat jatah membagikan di RT yang
paling ujung selatan dukuh kami. Aku memilih jalan kaki agar bisa mengambil
jalan setapak, meski melewati dukuh Candi yang terletak di sebelah timur dukuh
kami.
Di tengah jalan jalan ketika melewati dukuh Candi,
ada anak kecil yang sedang turun ke Sungai. Ku perhatikan sekilas
gerak-geriknya yang ternyata ku lihat
dia memetik kangkung yang tumbuh liar di sungai itu.
“Buat apa dik?” seruku bertanya kepadanya.
“Ya untuk makan mas, di rumah tidak ada lauk. Ayah
sedang sakit, jadi tidak bisa kerja untuk kebutuhan makan kami sehari-hari”
Jawabnya yang membuatku tercekat.
“Tidak ada yang menyembelih hewan kurban toh di
dukuh sini?”, tanyaku.
“Tidak ada mas, tadi saya tanya ke teman-teman juga
katanya tidak ada. Padahal kalau ada, mungkin kami bisa makan enak hari ini. Entah
kenapa, dari dukuh lain juga tidak ada yang mengirim!”, jawabnya panjang
menjelaskan dan seakan menyesalkan keadaan.
Aku memandangi 10 bungkus paket kurban yang ada di
tanganku. Ingin rasanya salah satunya aku berikan padanya, aku bingung. Tapi,
ucapan pak Qosim tadi membuatku mengurungkan niatku memberikan bungkusan itu
padanya. “Ini amanah yang harus disampaikan. Meski bukan yang terbaik, inilah
keputusannya” batinku mencoba menghibur hatiku.
Kupercepat jalanku ingin cepat-cepat menyelesaikan
tugasku ini. Terngiang terus perkataan anak tadi yang membuat hatiku bimbang
dan bingung. Selesai menyerahkan semua bungkusan pada KK yang ada di daftar,
aku langsung kembali ke masjid.
“Mukhtar, makan dulu sana. Itu teman-temanmu sudah
ada yang duluan makan. Ambil satu porsi ya, itu jatahmu” ucap pak Qosim
menyambut kedatanganku.
Pandanganku tertuju pada piring yang berjejer di
meja, tampak porsi yang terlalu besar untuk ukuranku. Porsi yang sama setiap
ada pelaksanaan Kurban yang menurut hematku, porsi itu malah cukup untuk makan
satu keluarga.
“Saya bungkus saja ya pak, saya tadi sudah sarapan”
jawabku berkilah.
Tanpa menunggu jawaban, langsung saja ku bungkus
sepiring porsi dagingku dengan plastik sisa pembagian daging kurban. Tidak ku
hiraukan teman-temanku yang terlihat sedang asyik menikmati sepiring penuh
daging dengan sedikit nasi di depan mereka. Pikiranku hanya tertuju pada anak
tadi. Teringat ucapannya yang terus mengiang di telingaku. Aku ingin Idul
adhaku penuh makna. Aku ingin ada daging untuknya, paling tidak di hari raya
ini, bukan kangkung yang sudah tiap hari dia makan.
(Diterbitkan di Solopos Tanggal 26 Sept 2014 kolom Hikayat di Khazanah Keluarga)
Get notifications from this blog